gambar

gambar
KETUA KELAS

Minggu, 27 Juni 2010

OTITIS MEDIA AKUT

OTITIS MEDIA AKUT

stella gracia jamlean
04.07.1838
b/kp/6

A. DEFINISI
Otitis media akut adalah infeksi atau peradangan akut pada sebagian atau seluruh rongga telinga tengah, sering diderita oleh bayi dan anak-anak, penyebabnya infeksi virus atau bakteri. Pada penyakit bawaan seperti down syndrome dan anak dengan alergi sering terjadi. Terapi antibiotika dan kunjungan ke dokter THT dalam proses perbaikan sangat disarankan.Otitis media supuratif akut (OMA) adalah otitis media yang berlangsung selama 3 minggu atau kurang karena infeksi bakteri piogenik.
B. ETIOLOGI
Bakteri piogenik sebagai penyebabnya yang tersering yaitu Streptokokus hemolitikus, Stafilokokus aureus, dan Pneumokokus. Kadang-kadang bakteri penyebabnya yaitu Hemofilus influenza, Escheria colli, Streptokokus anhemolitikus, Proteus vulgaris, Pseudomonas aerugenosa. Hemofilus influenza merupakan bakteri yang paling sering kita temukan pada pasien anak berumur dibawah 5 tahun.
C. PATOFISIOLOGI
Terjadi akibat terganggunya faktor pertahanan tubuh yang bertugas menjaga kesterilan telinga tengah. Faktor pertahanan tubuh seperti silia dari mukosa tuba Eustachius, enzim, dan antibodi. Faktor ini akan mencegah masuknya mikroba ke dalam telinga tengah. Penyebab utamanya adalah tersumbatnya tuba Eustachius sehingga pencegahan invasi kuman terganggu. Faktor pencetus terjadinya otitis media supuratif akut (OMA), yaitu : infeksi saluran nafas atas (common cold) yang terjadi terutama pada pasien anak-anak Bayi lebih mudah menderita otitis media supuratif akut (OMA) karena letak tuba Eustachius yang lebih pendek, lebih lebar dan lebih horisontal.

D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinik otitis media supuratif akut (OMA) tergantung dari stadium penyakit dan umur penderita. Biasanya gejala awal berupa sakit telinga yang berat dan menetap. Bisa terjadi gangguan pendengaran yang bersifat sementara. Gejala stadium supurasi berupa demam tinggi dan suhu tubuh menurun pada stadium perforasi. Gejala klinik otitis media supuratif akut (OMA) berdasarkan umur penderita, yaitu :
• Bayi dan anak kecil  Gejalanya : demam tinggi bisa sampai 39ºC (khas), sulit tidur, tiba-tiba menjerit saat tidur, mencret, kejang-kejang, dan kadang-kadang memegang telinga yang sakit.
• Anak yang sudah bisa bicara  Gejalanya : biasanya rasa nyeri dalam telinga, suhu tubuh tinggi, dan riwayat batuk pilek.
• Anak lebih besar dan orang dewasa  Gejalanya : rasa nyeri dan gangguan pendengaran (rasa penuh dan pendengaran berkurang), mual, muntah, diare dan demam sampai 40.5ºC.
Stadium otitis media supuratif akut (OMA) berdasarkan perubahan mukosa telinga tengah :
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Stadium oklusi tuba Eustachius terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi membrana timpani akibat tekanan negatif dalam telinga tengah karena terjadinya absorpsi udara. Selain retraksi, membrana timpani kadang-kadang tetap normal atau hanya berwarna keruh pucat atau terjadi efusi (tidak dapat dideteksi). Stadium oklusi dari otitis media supuratif akut (OMA) sukar dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa akibat virus atau alergi.



2. Stadium Hiperemis (Presupurasi)
Stadium hiperemis (pre supurasi) akibat pelebaran pembuluh darah di membran timpani yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat.
3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen (nanah). Selain itu edema pada mukosa telinga tengah makin hebat dan sel epitel superfisial hancur. Ketiganya menyebabkan terjadinya bulging (penonjolan) membrana timpani ke arah liang telinga luar.
Pasien akan tampak sangat sakit, nadi & suhu meningkat dan rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Anak selalu gelisah dan tidak bisa tidur nyenyak. Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak tertangani dengan baik akan menimbulkan ruptur membran timpani akibat timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan. Nekrosis ini disebabkan oleh terjadinya iskemia akibat tekanan kapiler membran timpani karena penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil.
Keadaan stadium supurasi dapat kita tangani dengan melakukan miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan membuat luka insisi pada membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan mudah menutup kembali sedangkan ruptur lebih sulit menutup kembali. Bahkan membran timpani bisa tidak menutup kembali jika membran timpani tidak utuh lagi.
4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman.
Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu menurun dan bisa tidur nyenyak. Jika membran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret (nanah) tetap berlangsung selama lebih 3 minggu maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih 1,5-2 bulan maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik (OMSK).
5. Stadium Resolusi
Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga erforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen tidak ada lagi. Stadium ini berlangsung jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah. Stadium ini didahului oleh sekret yang berkurang sampai mengering.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik (OMSK). Kegagalan stadium ini berupa membran timpani tetap perforasi dan sekret tetap keluar secara terus-menerus atau hilang timbul.
Otitis media supuratif akut (OMA) dapat menimbulkan gejala sisa (sequele) berupa otitis media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami perforasi membran timpani.

E. KOMPLIKASI
Komplikasi yang bisa timbul jika otitis media tidak segera diobati adalah mastoiditis atau petrositis (infeksi pada tulang di sekitar telinga tengah), perforasi gendang telinga dengan cairan yang terus menerus keluar. Komplikasi lebih lanjut seperti infeksi atau peradangan ke selaput otak (meningitis) walau jarang masih mungkin terjadi, sumbatan pembuluh darah akibat tromboemboli juga bisa terjadi. Disarankan segera bawa anak anda bila rewel dan memegang-megang telinga, tidak nyaman merebah demam dan keluar cairan pada telinga. Bila anda memeriksakan secara dini otitis media bisa dicegah sebelum memberikan kerusakan lebih lanjut dengan paracentesis atau miringotomi. Komplikasi lain yang serius adalah: Labirintitis (infeksi pada kanalis semisirkuler), kelumpuhan pada wajah, tuli dan abses otak Tanda-tanda terjadinya komplikasi antara lain : sakit kepala, tuli yang terjadi secara mendadak, vertigo (perasaan berputar),
demam dan menggigil.

F. KLASIFIKASI
Otitis media terdiri atas :
1) Otitis media supuratif
a. Otitis media supuratif akut atau otitis media akut
b. Otits media supuratif kronik
2) Otitis media non supuratif, atau otitis media serosa
a. Otitis media serosa akut (barotrauma atau aerotitis)
b. Otitis media serosa kronik (glue ear)
3) Otitis media spesifik, seperti otitis media sifilitika atau otitis media tuberkulosa
4) Otitis media adhesiva

G. DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan telinga dengan otoskop. Untuk menentukan organisme penyebabnya dilakukan pembiakan terhadap nanah atau cairan lainnya dari telinga.


H. PENATALAKSANAAN
Terapi otitis media supuratif akut (OMA) tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran nafas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik dan antipiretik.
1) Stadium Oklusi tuba Eustachius.
Terapinya : obat tetes hidung & antibiotik
HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologis untuk anak berusia dibawah 12 tahun. HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologis untuk anak berusia diatas 12 tahun dan orang dewasa.
Tujuan : Untuk membuka kembali tuba Eustachius yang tersumbat sehingga tekanan negatif dalam telinga tengah akan hilang.
Antibiotik diberikan pada otitis media yang disebabkan kuman bukan otitis media yang disebabkan virus dan alergi (otitis media serosa).
2) Stadium Pre Supurasi (Hiperemis)
Terapinya : antibiotik, obat tetes hidung, analgetik & miringotomi.
Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin dan eritromisin. Berikan golongan penisilin atau ampisilin selama minimal 7 hari. Golongan eritromisin dapat kita gunakan jika terjadi alergi penisilin. Penisilin intramuskuler (IM) sebagai terapi awal untuk mencapai konsentrasi adekuat dalam darah. Hal ini untuk mencegah terjadinya mastoiditis, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan. Berikan ampisilin 50-100 mg/kgbb/hr yang terbagi dalam 4 dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgbb/hr yang terbagi dalam 3 dosis pada pasien anak.

3) Stadium Supurasi
Terapinya : antibiotik & miringotomi
Selain antibiotik pasien harus dirujuk untuk dilakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang.
4) Stadium Perforasi
Terapinya : antibiotik & obat cuci telinga
Terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut. Diberikan obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup sendiri dalam 7-10 hari.
5) Stadium Resolusi
Terapinya : Antibiotik
Lanjutkan pemberiannya sampai 3 minggu bila tidak terjadi resolusi. Tidak terjadinya resolusi dapat disebabkan berlanjutnya edema mukosa telinga tengah. Curigai telah terjadi mastoiditis jika sekret masih banyak setelah kita berikan antibiotik selama 3 minggu.

Miringotomi
Miringotomi adalah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani agar terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke telinga luar. Tindakan bedah kecil ini harus dilakukan a vue (lihat langsung), pasien harus tenang dan dikuasai. Lokasi insisi di kuadran posterior inferior.
Operator harus memakai lampu kepala dengan sinar yang cukup terang, corng telinga yang sesuai, serta pisau : parasentesis yang kecil dan steril.
Dianjurkan untuk melakukannya dengan narkosis umum dan memakai mikroskop.
Bila pasien mendapat terapi yang adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali bila jelas tampak adanya nanah di telinga tengah.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah perdarahan akibat trauma liang telinga luar, dislokasi tulang pendengaran, trauma pada fenestra rotundum, trauma nervus fasialis, dan trauma pada bulbus jugular
Parasentesis
Parasentesis adalah pungsi pada membran timpani dengan semprit dan jarum khusus untuk mendapatkan sekret guna pemeriksaan mikrobiologik. Komplikasinya kurang lebih sama dengan miringotomi.

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Nyeri akut berhubungan dengan infeksi pada telinga bagian tengah
b. Perubahan persepsi sensori auditori berhubungan dengan gangguan pendengaran
c. Hipertermi berhubungan dengan infeksi pada telinga bagian tengah
d. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri yang hebat
e. Nausea berhubungan dengan gejala labirintis
f. Cemas berhubungan dengan perubahan status dalam kesehatan

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN PRIORITAS MASALAH
1. Nyeri akut berhubungan dengan infeksi pada telinga bagian tengah
2. Hipertermi berhubungan dengan infeksi pada telinga bagian tengah
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri yang hebat
4. Perubahan persepsi sensori auditori berhubungan dengan gangguan pendengaran
5. Cemas berhubungan dengan perubahan status dalam kesehatan

D. RENCANA KEPERAWATAN
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ….x24 jam skala nyeri dapat berkurang/hilang, dengan criteria hasil:
Pain level :
• 210201 melaporkan nyeri
• 210203
frekwensi nyeri
• 210206
ekspresi masase muka nyeri
• 210207
mengatur posisi badan


Pain control :
• 160501
mengenali faktor penyebab
• 160502
mengenali serangan nyeri

Keterangan :
1 = tidak pernah menunjukkan
2 = jarang menunjukkan
3 = kadang menunjukkan
4 = sering menunjukkan
5 = selalu menunjukkan


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan suhu badan klien turun/normal dengan kriteria hasil :
Thermoregulation :
 080002 suhu tubuh dalam rentang normal
 080012 nadi dalam rentang normal
 080013 RR dalam rentang normal



Keterangan :
1 = tidak pernah menunjukkan
2 = jarang menunjukkan
3 = kadang menunjukkan
4 = sering menunjukkan
5 = selalu menunjukkan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan pola tidur klien adekuat dengan kriteria hasil :
Sleep :
 000401 banyak waktu tidur
 000403 pola tidur
 000404 kualitas tidur
 000405 Efisiensi tidur
 000414 TTV dalam rentang normal
Keterangan :
1 = tidak pernah menunjukkan
2 = jarang menunjukkan
3 = kadang menunjukkan
4 = sering menunjukkan
5 = selalu menunjukkan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan persepsi sensori auditori klien kembali normal dengan kriteria hasil :
Anxiety control :
 140201 monitor intensitas cemas
 140202 menyingkirkan tanda kecemasan
 140203 menurunkan stimulasi lingkungan ketika cemas
 140204 mencari informasi untuk menurunkan cemas
 140205 merencanakan strategi koping
 140206 menggunakan strategi koping efektif
 140207 menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan cemas
 140208 melaporkan penurunan durasi dari episode cemas
 140213 melaporkan tidak adanya gangguan persepsi sensori

Keterangan :
1 = tidak pernah menunjukkan
2 = jarang menunjukkan
3 = kadang menunjukkan
4 = sering menunjukkan
5 = selalu menunjukkan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan rasa demas berkurang atau hilang dengan kriteria hasil :
Anxiety control :
 140201 monitor intensitas cemas
 140202 menyingkirkan tanda kecemasan
 140203 menurunkan stimulasi lingkungan ketika cemas
 140204 mencari informasi untuk menurunkan cemas
 140205 merencanakan strategi koping
 140206 menggunakan strategi koping efektif
 140207 menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan cemas
 140208 melaporkan penurunan durasi dari episode cemas
Keterangan :
1 = tidak pernah menunjukkan
2 = jarang menunjukkan
3 = kadang menunjukkan
4 = sering menunjukkan
5 = selalu menunjukkan

Pain management :
• Mengkaji secara konfrehensif tentang nyeri meliputi karakteristik penempatan, serangan, frekwensi, intensitas nyeri dan faktor presipitasi

• Monitor kenyamanan klien terhadap manajemen nyeri pada interval yang ditentukan


• Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab, berapa lam terjadi dan tindakan pencegahan


• Gunakan komunikasi theraupetic kepada pasien tentang pengalaman nyeri
Patient controlled analgesia (pca) assistance :
bekerja sama dengan dokter, pasien dan anggota keluarga di dalam memilih jenis antipiretik untuk digunakan


Fever treatment :
 Monitor suhu sesering mungkin
 Monitor warna dan suhu kulit
 Monitor tekanan darah, nadi dan RR
 Berikan antipiretik

 Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam


 Selimuti klien

 Kolaborasi pemberian cairan intravena
 Kompres klien pada lipat paha dan aksila


Sleep Enhancement :
 Tentukan aktifitas tidur klien
 Perkirakan waktu tidur kien yang teratur
 Tentukan efek dari pengobatan terhadap pola tidur
 Monitor pola tidur dan lama tidur klien dalam jam
 Sesuaikan lingkungan seperti berisik, suhu, alas tidur dan tempat tidur untuk meningkatkan tidur
 Bantu untuk membuang faktor stress sebelum tiba waktu tidur
 Monitor makanan sebelum tidur dan selingan yang tepat dengan tidur
 Naikkan peningkatan waktu untuk tidur jika diperlukan



Anxiety reduction :
 Ciptakan ketenangan untuk mendatangkan ketentraman
 Tinggal dengan klien untuk memantau kenyamanan dan menciptakan keterbukaan
 Anjurkan klien untuk tidak melakukan aktifitas yang berat
 Dengarkan dan perhatikan keluhan dari klien

 Berusaha memahami keadaan klien

 Temani klien untuk mendukung keamanan dan menurunkan rasa takut
 Instruksikan klien untuk menggunakan teknik relaksasi
 Berikan pengobatan untuk menurunkan cemas dengan cara yang tepat

Anxiety reduction :
 Ciptakan ketenangan, mendatangkan ketentraman
 Tinggal dengan klien untuk memantau kenyamanan dan menciptakan keterbukaan
 Anjurkan klien untuk tidak melakukan aktifitas yang berat
 Dengarkan dan perhatikan keluhan dari klien

 Kaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik pada tingkat kecemasan (takikardi, takipnea, ekspresi cemas non verbal)
 Gunakan pendekatan dan sentuhan (permisi) verbalisasi, untuk meyakinkan klien tidak sendiri dan mengajukan pertanyaan
 Sediakan aktifitas untuk menurunkan ketegangan
 Berusaha memahami keadaan klien

 Temani klien untuk mendukung keamanan dan menurunkan rasa takut
 Instruksikan klien untuk menggunakan teknik relaksasi
 Berikan pengobatan untuk menurunkan cemas dengan cara yang tepat





• Untuk mengetahui skala nyeri dan merencanakan tindakan untuk mengurangi dan menghilangkan nyeri
• Untuk mengetahui intervensi yang tepat dalam mengurangi dan menghilangkan nyeri
• Agar klien mampu memanajemen secara mandiri tindakan yang tepat untuk mengurangi nyeri
• Agar klien lebih terbuka




• Untuk mengurangi / menghilangkan nyeri dengan medika mentosa
• Untuk mengetahui keadaan umum klien
• Untuk memantau adanya dehidrasi
• Untuk mengetahui keadaan umum klien
• Untuk menurunkan demam
• Dengan menyembuhkan penyebab demam kondisi klien akan membaik
• Agar klien berkeringat
• Untuk memberikan suplai nutrisi
• Untuk menurunkan suhu tubuh

• Untuk memanaj waktu istirahat tidur
• Memberikan waktu tidur yang adekuat
• Untuk memanaj waktu istirahat tidur

• Mengkaji kuantitas tidur klien
• Menciptakan suasana tidur yang kondusif


• Untuk menghilangkan penyebab gangguan tidur
• Agar klien tidur dalam keadaan yang nyaman
• Agar waktu istirahat tidur adekuat


 Menstabilkan kondisi psikis klien

 Untuk menjalin hubungan saling percaya


 Untuk menghindari stress penyebab cemas
 Agar klien merasa diperhatikan dan menumbuhkan kepercayaan
 Agar kita bisa merasakan apa yang klien rasakan
 Untuk menumbuhkan rasa percaya diri klien

 Menurunkan kecemasan

 Untuk merunkan cemas secara medika mentosa

 Menstabilkan kondisi psikis klien

 Untuk menjalin hubungan saling percaya


 Untuk menghindari stress penyebab cemas
 Agar klien merasa diperhatikan dan menumbuhkan kepercayaan
 Untuk mengetahui respon tubuh terhadap kecemasan



 Agar kita bisa merasakan apa yang klien rasakan



 Menciptakan suasana rileks
 Agar kita bisa merasakan yang klien rasakan
 Untuk menumbuhkan rasa percaya diri klien

 Menurunkan kecemasan

 Untuk merunkan cemas secara medika mentosa

Selasa, 22 Juni 2010

TRAUMA THORAX

NAMA : I GUSTI PUTU WEDANA
KELAS : B/KP/VI
NIM : 04.07.1617


ASUHAN KEPERAWATAN PADA TRAUMA TEMBUS THORAX
DENGAN PEMASANGAN BULLOW DRAINAGE

A. Latar Belakang
Pada trauma (luka tusuk di dada), biasanya disebabkan oleh benda tajam, bila tidak mengenai jantung, biasanya dapat menembus rongga paru-paru. Mekanisme penyebabnya bisa satu tusukan kuat ataupun satu gerakan mendadak yang hebat. Akibatnya, selain terjadi peradarahan dari rongga paru-paru, udara juga akan masuk ke dalam rongga paru-paru. Oleh karena itu, paru-paru pada sisi yang luka akan mengempis. Penderita nampak kesakitan ketika bernapas dan mendadak merasa sesak dan gerakan iga disisi yang luka menjadi berkurang (Kartono, M. 1991).

B. Konsep Dasar.
1. Anatomi Rongga Thoraks
Kerangka dada yang terdiri dari tulang dan tulang rawan, dibatasi oleh :
- Depan : Sternum dan tulang iga.
- Belakang : 12 ruas tulang belakang (diskus intervertebralis).
- Samping : Iga-iga beserta otot-otot intercostal.
- Bawah : Diafragma
- Atas : Dasar leher.
Isi :
 Sebelah kanan dan kiri rongga toraks terisi penuh oleh paru-paru beserta pembungkus pleuranya.
 Mediatinum : ruang di dalam rongga dada antara kedua paru-paru. Isinya meliputi jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar, oesophagus, aorta desendens, duktus torasika dan vena kava superior, saraf vagus dan frenikus serta sejumlah besar kelenjar limfe (Pearce, E.C., 1995).

Gambar Rongga Thoraks :


Jantung Sternum
& perikardium Saraf frenikus
Vena Kava Superior
Trakea Left Right Oesophagus
Lung lung Saraf vagus

Aorta Vertebra
Sal. Torasika




2. Patofisiologi
Trauma tusuk dada kanan

Mengenai rongga toraks sampai Terjadi robekan Pemb. Darah intercostal,
rongga pleura, udara bisa pemb.darah jaringan paru-paru.
masuk

- Open pneumotoraks Terjadi perdarahan :
- Close pneumotoraks = ringan kurang 300 cc ---- di punksi
- Tension pneumotoraks = sedang 300 - 800 cc ------ di pasang drain
= berat lebih 800 cc ------ torakotomi
Tek. Pleura meningkat
terus Tek. Pleura meningkat terus
mendesak paru-paru


- sesak napas yang progresif = sesak napas yang progresif
(sukar bernapas/bernapas berat) = nyeri bernapas / tekan.
- nyeri bernapas = pekak dengan batas jelas/tak jelas.
- bising napas berkurang/hilang = bising napas tak terdengar
- bunyi napas sonor/hipersonor = nadi cepat/lemah
- poto toraks gambaran udara lebih 1/4 = anemis / pucat
dari rongga torak = poto toraks 15 - 35 % tertutup bayangan

WSD/Bullow Drainage


- terdapat luka pada WSD - Kerusakan integritas kulit
- nyeri pada luka bila untuk - Resiko terhadap infeksi
bergerak. - Perubahan kenyamanan : Nyeri
perawatan WSD harus di - Ketidak efektifan pola pernapasan
perhatikan. - Gangguan mobilitas fisik
- Inefektif bersihan jalan napas - Potensial Kolaboratif : Atelektasis dan
Pergeseran mediatinum


3. Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :
a. Diagnostik :
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam shoks.

b. Terapi :
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" dapat kembali seperti yang seharusnya.

c. Preventive :
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" tetap baik.

4. Perawatan WSD dan pedoman latihannya :
a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.

b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat akan diberi analgetik oleh dokter.
Dalam perawatan yang harus diperhatikan :
- Penetapan slang.
Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan tidak terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat dikurangi.
- Pergantian posisi badan.
Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera.

c. Mendorong berkembangnya paru-paru.
 Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
 Latihan napas dalam.
 Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk waktu slang diklem.
 Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.

d. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi. Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga secara bersamaan keadaan pernapasan.

e. Suction harus berjalan efektif :
Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan setiap 1 - 2 jam selama 24 jam setelah operasi.
 Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna muka, keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.
 Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika suction kurang baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2 terlentang atau 1/2 duduk ke posisi miring bagian operasi di bawah atau di cari penyababnya misal : slang tersumbat oleh gangguan darah, slang bengkok atau alat rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena perlekatanan di dinding paru-paru.

d. Perawatan "selang" dan botol WSD/ Bullow drainage.
1) Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang keluar kalau ada dicatat.
2) Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.
3) Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuk yaitu meng"klem" slang pada dua tempat dengan kocher.
4) Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol dan slang harus tetap steril.
5) Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri, dengan memakai sarung tangan.
6) Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal : slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll.

5. Dinyatakan berhasil, bila :
a. Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi.
b. Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.
c. Tidak ada pus dari selang WSD.


6. Pemeriksaan Penunjang :
a. Photo toraks (pengembangan paru-paru).
b. Laboratorium (Darah Lengkap dan Astrup).

7. Terapi :
a. Antibiotika..
b. Analgetika.
c. Expectorant.

C. Pengkajian :
Point yang penting dalam riwayat keperawatan :
1. Umur : Sering terjadi usia 18 - 30 tahun.
2. Alergi terhadap obat, makanan tertentu.
3. Pengobatan terakhir.
4. Pengalaman pembedahan.
5. Riwayat penyakit dahulu.
6. Riwayat penyakit sekarang.
7. Dan Keluhan.

Pemeriksaan Fisik :
1. Sistem Pernapasan :
 Sesak napas
 Nyeri, batuk-batuk.
 Terdapat retraksi klavikula/dada.
 Pengambangan paru tidak simetris.
 Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain.
 Adanya suara sonor/hipersonor/timpani.
 Bising napas yang berkurang/menghilang.
 Pekak dengan batas seperti garis miring/tidak jelas.
 Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
 Gerakan dada tidak sama waktu bernapas.

2. Sistem Kardiovaskuler :
 Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk.
 Takhikardia, lemah
 Pucat, Hb turun /normal.
 Hipotensi.

3. Sistem Persyarafan :
 Tidak ada kelainan.

4. Sistem Perkemihan.
 Tidak ada kelainan.

5. Sistem Pencernaan :
 Tidak ada kelainan.

6. Sistem Muskuloskeletal - Integumen.
 Kemampuan sendi terbatas.
 Ada luka bekas tusukan benda tajam.
 Terdapat kelemahan.
 Kulit pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi sub kutan.

7. Sistem Endokrine :
 Terjadi peningkatan metabolisme.
 Kelemahan.

8. Sistem Sosial / Interaksi.
 Tidak ada hambatan.

9. Spiritual :
 Ansietas, gelisah, bingung, pingsan.

10. Pemeriksaan Diagnostik :
 Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
 Pa Co2 kadang-kadang menurun.
 Pa O2 normal / menurun.
 Saturasi O2 menurun (biasanya).
 Hb mungkin menurun (kehilangan darah).
 Toraksentesis : menyatakan darah/cairan,

Diagnosa Keperawatan :
1. Ketidakefektifan pola pernapasan b/d ekpansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan.
2. Inefektif bersihan jalan napas b/d peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut b/d trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
4. Gangguan mobilitas fisik b/d ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
5. Potensial Kolaboratif : Akteletasis dan Pergeseran Mediatinum.
6. Kerusakan integritas kulit b/d trauma mekanik terpasang bullow drainage.
7. Resiko terhadap infeksi b/d tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma.

D. Intevensi Keperawatan :
1. Ketidakefektifan pola pernapasan b/d ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma.
Tujuan : Pola pernapasan efektive.
Kriteria hasil :
 Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive.
 Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
 Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.

Intervensi :
a. Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
b. Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebgai akibat stress fifiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia.
c. Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
d. Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
e. Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
f. Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 - 2 jam :
1) Periksa pengontrol penghisap untuk jumlah hisapan yang benar.
R/ Mempertahankan tekanan negatif intrapleural sesuai yang diberikan, yang meningkatkan ekspansi paru optimum/drainase cairan.
2) Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada batas yang ditentukan.
R/ Air penampung/botol bertindak sebagai pelindung yang mencegah udara atmosfir masuk ke area pleural.
3) Observasi gelembung udara botol penempung.
R/ gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan lubang angin dari penumotoraks/kerja yang diharapka. Gelembung biasanya menurun seiring dnegan ekspansi paru dimana area pleural menurun. Tak adanya gelembung dapat menunjukkan ekpsnsi paru lengkap/normal atau slang buntu.
4) Posisikan sistem drainage slang untuk fungsi optimal, yakinkan slang tidak terlipat, atau menggantung di bawah saluran masuknya ke tempat drainage. Alirkan akumulasi dranase bela perlu.
R/ Posisi tak tepat, terlipat atau pengumpulan bekuan/cairan pada selang mengubah tekanan negative yang diinginkan.
5) Catat karakter/jumlah drainage selang dada.
R/ Berguna untuk mengevaluasi perbaikan kondisi/terjasinya perdarahan yang memerlukan upaya intervensi.
g. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
1) Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
 Pemberian antibiotika.
 Pemberian analgetika.
 Fisioterapi dada.
 Konsul photo toraks.
R/Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

2. Inefektif bersihan jalan napas b/d peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Jalan napas lancar/normal
Kriteria hasil :
 Menunjukkan batuk yang efektif.
 Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan.
 Klien nyaman.

Intervensi :
a. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan.
R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
b. Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
R/ Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan frustasi.
1) Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
R/ Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
2) Lakukan pernapasan diafragma.
R/ Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.
3) Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
4) Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
R/ Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
c. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
R/ Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.
d. Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi.
R/ Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus, yang mengarah pada atelektasis.
e. Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
R/ Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
f. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
 Pemberian expectoran.
 Pemberian antibiotika.
 Fisioterapi dada.
 Konsul photo toraks.
R/ Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut b/d trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
Tujuan : Nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
 Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi.
 Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/menurunkan nyeri.
 Pasien tidak gelisah.

Intervensi :
a. Jelaskan dan bantu klien dnegan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif.
R/ Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
1) Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase.
R/ Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi, sehingga akan mengurangi nyerinya.
2) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
R/ Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.
b. Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman ; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.
R/ Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
c. Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.
R/ Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya. Dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
d. Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik.
R/ Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.
e. Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 - 2 hari.
R/ Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang obyektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA



Carpenito, L.J. (1997). Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.

Depkes. RI. (1989). Perawatan Pasien Yang Merupakan Kasus-Kasus Bedah. Jakarta : Pusdiknakes.

Doegoes, L.M. (1999). Perencanaan Keperawatan dan Dokumentasian keperawatan. Jakarta : EGC.

Hudak, C.M. (1999) Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.

Pusponegoro, A.D.(1995). Ilmu Bedah. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Rabu, 09 Juni 2010