gambar

gambar
KETUA KELAS

Minggu, 14 Maret 2010

Asuhan Keperawatan BPH(Benigna Prostat Hiperplasi)

BPH(Benigna prostat Hiperplasia)
by : ni putu riska yanti(04.07.1637)

1. Pengertian
BPH adalah perbesaran kronis dari prostat pada usia lanjut yang berkorelasi dengan pertambahan umur. Perbesaran ini bersifat lunak dan tidak memberikan gangguan yang berarti. Tetapi, dalam banyak hal dengan berbagai faktor pembesaran ini menekan uretra sedemikian rupa sehingga dapat terjadi sumbatan partial ataupun komplit. Dengan demikian, mekanisme urinoir dapat menjadi semakin terganggu berupa: penurunan deras aliran, pertambahan residu urine dalam kandung kencing, dan peningkatan beban kandung kencing. Kondisi ini akan memudahkan terjadinya inflamasi, infeksi pada ureter, prostat, dan kandung kemih.
http://www.tempo.co.id/medika/online/tmp.online.old/pus-3.htm
Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang kemudian mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. (Jong, Wim de, 1998).
Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193).

2. Etiologi
Penyebab terjadinya Benigna Prostat Hipertropi belum diketahui secara pasti. Tetapi hanya 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya Benigne Prostat Hypertropi yaitu testis dan usia lanjut.

Ada beberapa teori mengemukakan mengapa kelenjar periurethral dapat mengalami hiperplasia, yaitu :

Teori Sel Stem (Isaacs 1984)

Teori MC Neal (1978)


3. patofisiologi
Teori yang dianut untuk menjelaskan proses BPH ini adalah teori hormon dihydrosteron (DHT).

Kadar DHT pada usia lanjut meningkat karena peningkatan kadar enzim 5 alfa reduktase yang mengkonversi testosteran menjadi DHT. DHT ini yang dianggap menjadi pendorong hiperplasi kelenjar, otot, dan stroma prostat. Dengan latar seperti itu, diperlukan obat yang dapat menekan ketersediaan testosteron, menekan aktivitas enzim 5 alfa reduktase, dan menghambat reseptor androgen

Untuk kelompok obat yang pertama dan terakhir mempunyai efek samping obat (ESO) yang sangat merugikan kualitas reproduksi, di mana libido dan ereksi akan terus menurun sampai akhirnya padam.

Pemakaian obat-obat yang menekan eksistensi testosteron, baik dalam kadar maupun efeknya, tidaklah rasional. Oleh karena itu, obat yang dapat dipakai hanyalah yang menekan aktivitas enzim 5 alfa reduktase. Yang tertekan hanyalah kadar DHT penyebab BPH, sedangkan kadar testosteron malah naik dan dalam berbagai hal dapat menguntungkan.

Dalam perjalanan proses BPH, bisa saja terjadi peningkatan tonus dari otot polos prostat sehingga uretra menyempit atau tersumbat. Untuk mengatasi ini, diperlukan obat yang dapat mengendurkan tonus otot prostat, yaitu dari kelompok µ satu adrenergic blocker3. Kelompok obat ini tidak dapat digunakan dalam jangka panjang karena ESO-nya berupa hipotensi ortostatik, palpitasi, astenia verrtigo, dan lain-lain yang sangat mengganggu kualitas hidup, kecuali bagi penderita hipertensi. Jadi, obat ini hanya dapat digunakan untuk jangka pendek, pada waktu ada serangan akut prostatisme.

Pendekatan farmakologis dengan hanya memakai kedua kelompok obat 5 alfa reduktase dan µ satu adrenergic blocker, ternyata masalahnya belum dapat tertuntaskan. Kesenjangan masih lebar sehingga terbuka peluang untuk mengisi kesenjangan ini dengan fitoterapi. Dalam hal ini, fitoterapi berperan sebagi obat komplementer atau alternatif. Di Jerman, 90% kasus BPH diterapi dengan Serenoa repens tunggal atau kombinasi, sedangkan di negara-negara Eropa dan Amerika pemakainnya terus meningkat dengan cepat.
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan- lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher buli- buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan merenggangsehingga timbul satulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensio urinyang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
Adapun patofisiologi dari masing- masing gejala adalah :
• Penurunan kekuatan dan kaliber aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah gambaran awal dan menetap dari BPH.
• Hesitancy karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra.
• Intermittency terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi Terminal Driibbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urine yang banyakk dalam buli- buli.
• Nokturia dan frekuensi terjadi pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.
• Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama tidur.
• Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidakstabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.
• Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya penyakit urin keluar sedikit- sedikit secara berkala karena setelah buli- buli mencapai compliance maksimum, tekanan dalam buli- buli akan cepat naik melebihi tekanan sfingter.

4. MANIFESTASI KLINIS

Biasanya gejala- gejala pembesaran prostat jinak dikenal sebagai Lower Urinary tract Symptoms (LUTS) dibedakan menjadi dua yaitu gejala iritatif dan gejala obstruktif.
Gejala iritatif yaitu sering miksi(frekuuensi), terbangun unruk miksi pada malam hari(nokturia), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak(urgensi), dan nyeri pada saat miksi(disuria). Sedangkan gejala obstruktif adalah pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau ingin miksi harus menunggu lama(hesitancy), harus mengedan(straining), kencing terputus- putus(intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow.
Keluhan ini biasanya disusun dalam bentuk skor simtom. Terdapat beberapa jenis klasifikasi yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis dan menentukan tingkat beratnya penyakit, di antaranya adalah skor internasional gejala- gejala prostat WHO(IPSS) dan skor Madsen Iversen.

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus diperhitungkan etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginja dan status metabolic. Pemeriksaan PSA(Prostat Spesifik Antigen ) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA <4ng/ml tidak perlu biopsy. Sedangkan bila nilai PSA4-10ng/ml maka hitunglah PSAD(Prostate Spesific Antigen Density) yaitu PSA dibagi dengan volume prostat.
2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intravena, USG dan sistokopi. Tujuan pemeriksaan pencitraan dini ini adalah untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli- buli dan volume residu urin, dan mencari kelainan patologik lainnya, baik yang berhubungan maupun tidak dengan BPH. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli- buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal.

6. KOMPLIKASI
Apabila buli- buli menjadi dekompensasi, akan terjadi retensio urin. Karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli- buli tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika meningkat, dapat timbul hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan dipercepat jika terjadi infeksi.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan dalam buli- buli. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistisis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.
Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama- kelamaan dapat mennyebabkan hernia atau hemoroid.

7. PENATALAKSANAAN
1. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan (skor madsen Iverson ≤ 9). Dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi terjadinya nokturia, menghindari obat- obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alcohol agar tidak terlalu sering miksi.
2. Terapi medikamentosa
a. Penghambat adrenergik a
Obat-obat yang dipakai adalah prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin.
b. Penghambat enzim 5-a-reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil.
c. Fitoterapi
Pengobatan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat. Substansinya misalnya Pygeum africanum.
3. Terapi bedah
Waktu penanganan tiap pasien bergantung beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolute untuk terapi bedah yaitu :
1. Retensio urin berulang
2. Hematuria
3. Tanda penurunan funsi ginjal
4. Infeksi saluran kemih berulang
5. Tanda- tanda obstruksi berat
6. Ada batu saluran kemih


4. Terapi invansif minimal
• Transurethral Microwave Thermotherapy
Jenis pengobtan ini hanya dapat dilakukan di beberapa rumah sakit besar. Dilakukan pemanasan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui suatu transducer di uretra pars prostatika.
• Dilatasi Balon Transurethral
• High- Intensity Focused ultrasound
• Ablasi Jarum Transuretra
• Stent prostat

PENGKAJIAN
  1. Data subyektif :
    • Pasien mengeluh sakit pada luka insisi.
    • Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual.
    • Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan.
    • Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa.
  2. Data Obyektif :
    • Terdapat luka insisi
    • Takikardi
    • Gelisah
    • Tekanan darah meningkat
    • Ekspresi w ajah ketakutan
    • Terpasang kateter
Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
  1. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter
  2. Kurang pengetahuan : tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
  3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan
 INTERVENSI
  1. DX 1 :
    Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter

  2. Tujuan:
    Setelah dilakukan perawatan selama 3-5 hari pasien mampu mempertahankan derajat kenyamanan secara adekuat.

    Kriteria hasil :
    • Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang.
    • Pasien dapat beristirahat dengan tenang.

    Intervensi :
    • Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0 - 10)
    • Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor pencetus serta penghilang nyeri.
    • Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi)
    • Beri ompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah.
    • Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok, abdomen tegang)
    • Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasi
    • Lakukan perawatan aseptik terapeutik
    • Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat.

  3. Diagnosa Keperawatan 2. :
    Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi

    Tujuan :
    Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat lanjutan .

    Kriteria hasil :
    • Klien akan melakukan perubahan perilaku.
    • Klien berpartisipasi dalam program pengobatan.
    • Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan dan kebutuhan berobat lanjutan.

    Intervensi :
    • Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4 minggu.
    • Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6 minggu; dan memakai pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan.
    • Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000 ml/hari.
    • Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter.
    • Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh.

  4. Diagnosa Keperawatan 3. :
    Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan

    Tujuan :
    Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi

    Kriteria hasil :
    • Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
    • Klien mengungkapan sudah bisa tidur.
    • Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur.

    Intervensi :
    • Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk menghindari.
    • Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi kebisingan.
    • Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
    • Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri (analgesik).

1 komentar:

  1. Kalo kasusnya kayak gini diagnosanya apa ?
    : tn. ahmad usia 63 tahun dirawat dengan BPH. klien dan keluarga mengatakan bila BAK tidak lancar, keluar sediki sedikit. saat mengeluarkan kencing klien mengeluh nyeri, skala 6. urine per 24 jam : 300 cc , warna kuning keruh. makanan satu porsi habis. TD 130/90, nadi 92X per menit , suhu 36,7°C , Hb : 12 g/dL

    thanks,

    BalasHapus